Senin, 03 Desember 2012

‘Agama itu Seperti Narkoba’


Dalam suatu wawancara dengan SPIEGEL, Hamed Abdel-Samad ahli ilmu politik Mesir-Jerman berbicara tentang masa kecilnya sebagai anak seorang imam di Mesir, mengapa ia beranggapan bahwa Islam itu merupakan bahaya bagi masyarakat, dan teorinya tentang keruntuhan dunia Muslim yang tak terhindarkan.
SPIEGEL: Tuan Abdel-Samad, saat ini Jerman sedang terpecah gara-gara pengarang kontroversial Thilo Sarrazin yang buku barunya “Jerman Menjerumuskan Dirinya Sendiri” memicu perdebatan sengit tentang kebijakan imigrasi dan keengganan para imigran Muslim untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Jerman. Apakah anda termasuk faksi yang pro atau kontra Sarrazin?
Hamed Abdel-SAMAD: Tidak dua-duanya.
SPIEGEL: Apakah anda sudah menemukan jalan tengah di dalam debat integrasi itu? Atau anda hanya mencoba menghindar dari menyinggung perasaan teman-teman Jerman anda dan kawan sesama Muslim?
Abdel-Samad: Saya sama sekali tidak suka dengan sifat dari perdebatan ini. Sebagian bersikap menghakimi Sarrazin, sedangkan yang lain hanya bersorak untuk dia tanpa mendalami persoalannya. Sarrazin telah menjadi hulu petir untuk semuanya. Baik dia dilihat sebagai pahlawan ataupun sebagai kambing hitam, Sarrazin tanpa bermaksud telah menjadi kawan bagi orang yang malas berpikir dan yang tidak paham. Semua kegagalan dan kecaman sekarang bisa diarahkan kepada satu orang saja: Superman Sarrazin.
SPIEGEL: Anda mengatakan bahwa Sarrazin dan teorinya itu dilebih-lebihkan?
Abdel-Samad: Saya tidak setuju dengan pemecatan Sarrazin dari partai SPD (Partai Sosial Demokrat yang kiri-tengah, yang sedang mengupayakan pemecatan Sarrazin), dan saya yakin bahwa suatu perdebatan terbuka tentang integrasi di Jerman sangatlah diperlukan. Akan tetapi kesimpulan yang dibuat oleh Sarrazin tidak membawa kebaikan bagi kita, karena sudah tidak aktual lagi. Jerman tidak sedang menjerumuskan dirinya sendiri, akan tetapi sedang berubah melalui kebijakan keimigrasiannya, dan itu bagus. Kita perlu bicara tentang persoalan hidup berdampingan, kegagalan para imigran untuk menyesuaikan diri dan apa yang harus dilakukan untuk mereka.
SPIEGEL: Dan Sarrazin, Sang Provokator, menghalangi terjadinya hal itu dengan teorinya tentang biologi dan ras?
Abdel-Samad: Pastinya dia tidak mempromosikan hal itu. Teorinya itu tidak menolong kita menyelesaikan persoalan kebuntuan integrasi. Anda bisa lihat apa yang terjadi sekarang, bagaimana orang-orang menjadi terkubu-kubu. Seorang politikus dari Partai CDU (Uni Kristen Demokrat yang kanan-tengah) terus menerus menekankan bahwa orang asing harus belajar berbahasa Jerman dengan benar. Seorang politikus SPD, setelah menghujat pernyataan Sarrazin, menunjukkan contoh-contoh keberhasilan integrasi. Seorang idealis Turki akan menyanyikan hymne keragaman budaya dari Partai Hijau. Sementara itu seorang pengritik keras Islam mencoba menyematkan kesalahan atas semua masalah yang dihadapi Jerman kepada orang Turki.
SPIEGEL: Anda merujuk kepada Necla Kelek, seorang sosioloog Turki-Jerman, dia yang bersemangat sekali memperkenalkan bukunya Sarrazin pada kesempatan peluncuran resminya itu ya?
Abdel-Samad: Thilo Sarrazin adalah bukti bahwa kita mempunyai suatu masalah. Dia adalah si pembawa berita, dan beritanya adalah bahwa di sini sedang berkembang suatu kontroversi yang menegangkan. Kita menghadapi para penyemai ketakutan, pencari pembenaran dan keterlalu-pekaan.
SPIEGEL: Haruskah kita berpura-pura bahwa bukunya Sarrazin tidak ada?
Abdel-Samad: Kearifan Arab saya yang halus mengatakan bahwa Sarrazin tidak lebih berbahaya daripada apa yang hendak dijadikan oleh media tentang dia. Dia tidak memecah-belah negeri ini maupun menyelesaikan persoalannya.
SPIEGEL: Mungkin anda bisa mencerahi kami. Anda adalah pengritik Islam yang keras, sehingga seharusnya anda berada dalam satu perahu dengan Sarrazin, yang secara menyeluruh mengibliskan agama ini. Mengapa tidak demikian halnya?
Abdel-Samad: Dia percaya bahwa Islam sedang berjaya di mana-mana. Saya juga mengkritisi berbagai aspek dari Islam. Akan tetapi saya juga melihat bahwa Islam sedang menuju ke jalan akhirnya. Islam tidak perlu diibliskan, tetapi perlu dimodernisir dari dasar sampai ke atasnya.
SPIEGEL: Anda memprediksikan “kejatuhan dari dunia Islam,” menyitir judul dari buku baru anda. Akan tetapi bukankah Islam sedang bertumbuh dengan cepat dibandingkan dengan agama-agama lain, dan Eropa, pada khususnya, sangat kuatir akan dikuasai oleh kaum Muslim.
Abdel-Saman: Jumlah tidak banyak berarti bagi kita. Ada 1,4 milyar kaum Muslim. Kenapa memangnya? Hal yang penting adalah di hampir semua Negara yang mayoritas penduduknya Muslim, kita lihat kemunduran peradaban dan stagnasi dari semua bentuk kehidupan. Islam tidak punya jawaban yang meyakinkan atas tantangan hidup abad ke 21. Islam berada dalam kemunduran intelektual, moral dan budaya – suatu agama yang menuju kiamat, tanpa kesadaran-diri dan tanpa pilihan tindakan.
SPIEGEL: Bukankah anda sedang melakukan kesalahan yang sama dengan kebanyakan pengritik islam yang radikal, dengan mengelompokkan bersama seluruh agama ini, dalam semua bentuk-bentuknya yang berbeda?
Abdel-Samad: Tentu saja agama kami punya banyak arah. Perbedaannya mungkin menarik bagi pada theoloog dan anthropoloog, akan tetapi hal-hal itu sama sekali tidak relevan dari sudut pandang politis. Unsur penentunya adalah secara umum tidak ada arah tujuan yang jelas dan keterbelakangan, yang seringkali menjurus ke fundamentalisme yang agresif. Itulah ciri umumnya.
SPIEGEL: Bukankah Dubai itu dunia yang berbeda dari Somalia, dan Indonesia yang relatif liberal itu sangat berbeda dengan Iran yang menerapkan theokrasi dengan ketat. Turki itu demokratis dan akhir-akhir ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari kebanyakan Negara Eropa lainnya. Apakah hal itu merupakan kekecualian?
Abdel-Samad: Tentu saja ada perbedaan. Akan tetapi ketika kaum Muslim berupaya memasukkan mata pelajaran Islam ke dalam kurikulum sekolah di Eropa atau berupaya memperoleh status non-profit untuk sebuah organisasi Islam, selalu yang dikemukakan adalah Islam yang tunggal. Akan tetapi begitu ada seseorang menyerang kepercayaannya, mereka langsung menggunakan tipuan untuk membungkam kritikan itu dan dengan cerdiknya bertanya: “Islam yang mana yang anda maksudkan?
SPIEGEL: Mungkin anda dapat membantu kami memahaminya.
Abdel-Samad: Ibaratnya, Islam itu seperti narkoba, seperti alkohol. Sedikit bisa berguna untuk menyembuhkan atau memberikan inspirasi, tetapi ketika kaum beriman itu meraih botol iman yang dogmatis dan menenggaknya untuk setiap situasi, maka hal itu menjadi berbahaya. Bentuk Islam yang begitu itu yang saya maksudkan. Hal itu membahayakan orang-seorang dan merusakkan masyarakat. Hal itu merintangi integrasi, karena Islam ini membagi dunia menjadi kawan dan lawan, menjadi kaum beriman dan kaum kafir.
SPIEGEL: Kedengarannya anda tidak banyak berbeda pandangan dengan Tuan Sarrazin.
Abdel-Samad: Persamaan antara Tuan Sarrazin dan saya hanyalah bahwa kami berdua berasal dari latar belakang imigran. Dia takut terhadap dunia Islam, sedangkan saya menguatirkan nasib Islam. Jerman menawarkan kepada kami berdua sebuah forum, dan hanya untuk alasan itu saja negeri ini tidak bisa dikalahkan.
SPIEGEL: Anda mendukung suatu bentuk Islam yang lebih lunak. Apa yang masih akan ada di bagian inti dari agama ini?
Abdel-Samad: Impian saya, sebenarnya, suatu Islam yang tercerahkan, tanpa hukum Syariah dan tanpa jihad, tanpa apartheid jender, pengislaman dan mentalitas merasa berhak. Suatu agama yang terbuka terhadap kritikan dan pertanyaan. Sejauh yang menyangkut diri saya, saya berpindah dari iman ke pengetahuan beberapa lama yang lalu.
SPIEGEL: Anda menjadi seorang atheis.
Abdel-Samad: Tidak.
SPIEGEL: Anda boleh saja mengakuinya. Menjadi seorang atheis bukanlah sesuatu hal yang memalukan.
Abdel-Samad: Tetapi itu tidak benar.
SPIEGEL: Tidak seorang imam, pastur Katholik atau Rabbi Yahudi pun yang bisa mempercayai anda. Percaya kepada Tuhan berarti menerima bahwa ada sesuatu yang ada di luar pengetahuan. Jika anda tidak mempercayai hal itu mengapa anda bersikeras menamakan diri anda sendiri seorang Muslim?
Abdel-Samad: Percaya kepada Tuhan bisa juga berarti tidak bersetuju dengan Dia. Saya tidak berdoa secara teratur, dan saya tidak berpuasa selama Ramadan. Dalam hal itu, saya tidak taat beragama. Tetapi saya menganggap diri saya sendiri sebagai Muslim. Itu adalah komunitas budaya saya. Bagi saya Islam adalah juga tanah air saya dan bahasa saya, dan Bahasa Arab saya tidak bisa dipisahkan dari semua itu. Kamu bisa menjauhkan dirimu dari Islam akan tetapi tetap berada dalam jantung dari Islam. Saya tidak mau menyerah kepada para fundamentalis yang mengotbahkan kekerasan. Mereka sedang bangkit.
SPIEGEL: Tapi bukankah Islamisme sedang mengalami kemunduran, walaupun – atau justru oleh karena – serangan-serangan yang dilakukan oleh Al-Qaida? Osama bin Laden tidak lagi menjadi pahlawan dari jalan Arab.
Abdel-Samad: Kebencian dari dunia Barat belum hilang juga. Pada kenyataannya justru bertumbuh di beberapa tempat. Dan kebanyakan dari kekerasan itu ditujukan terhadap kaum Muslim, seperti yang terjadi di Iraq dan Somalia.
SPIEGEL: Mantan Presiden Amerika George W. Bush menyatakan secara jelas reservasinya tentang Islam kepada kaum Muslim di dunia. Di Iraq dan Guantanamo, orang-orang Amerika menghina para tahanan Muslim dan kadang-kadang mengejek agamanya. Seorang pendeta di Florida bahkan baru-baru ini mengatakan bahwa ia akan membakar Al Quran.
Abdel-Samad: Semua yang anda katakan itu benar.
SPIEGEL: Sampai hari ini, dunia Muslim secara tajam mengkritisi – dapat dibenarkan, sampai titik tertentu – tentang fakta bahwa Washington, dengan kebijakan pro-Israelnya, menerapkan standard ganda di Timur Tengah.
Abdel-Samad: Tetapi itu bukan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan.
SPIEGEL: Tentu saja tidak. Tetapi mengapa anda bersikeras bahwa ada hubungan sebab dan akibat antara terorisme dan Islam? Mengapa anda tidak menyalahkan hal itu kepada kondisi hidup yang menyengsarakan dan kurangnya kesempatan, yang atas mana para diktator Arab, yang seringkali adalah sekutu erat dari penguasa Barat, bertanggungjawab?
Abdel-Samad: Karena para teroris meneriakkan agama. Dan karena kemiskinan adalah penyebab teror.
SPIEGEL: Itu aneh. Kita tidak menyalahkan Kekristenan karena ada kelompok sempalan di Irlandia Utara yang melakukan pembunuhan atas nama agama mereka. Kita tidak mengambil Judaisme sebagai alasan ketika seorang teroris di Hebron membantai Muslim di makam Abraham dan meneriakkan Yahweh. Tapi dengan Islam…
Abdel-Samad: …itu cerita yang berbeda sama sekali. Karena kekerasan telah menyekutukan dirinya dengan kebudayaan.
SPIEGEL: Itu yang anda klaim.
Abdel-Samad: Dan karena para pelaku kekerasan itu lebih sering mendasarkannya pada Al Quran daripada tidak. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kaum penghujat yang, mengabaikan hal-hal tabu, mempertanyakan segala sesuatu tentang agama ini.
SPIEGEL: Anda membuatnya seolah-olah agama anda tidak berubah. Majalah berita Amerika Time memuji “revolusi damai” dari Islam pada laporan utamanya. Dan para pembaharu yang anda butuhkan itu memang ada. Salah satunya adalah pemikir Iran Abdolkarim Soroush, yang mengakui berbagai jalan menuju pada iman yang benar, dan yang lain adalah theoloog Mesir yang baru saja wafat, Nasr Hamid Abu Zayd.
Abdel-Samad: Saya kenal baik dengan Abu Zayd, dan saya menghormati beliau. Anda tahu bahwa hakim-hakim yang radikal memutuskan dia untuk diceraikan dari isterinya karena pandangan-pandangannya yang liberal, dan sehingga beliau harus kabur dari Mesir dan pergi ke Nederland. Akan tetapi pemikir-pemikir seperti mereka merupakan kekecualian. Kebanyakan dari para reformis Islam mengingatkan saya pada band di kapal Titanic, yang terus bermain walaupun kapalnya sedang tenggelam, untuk memberikan kesan kepada para penumpang suatu ilusi bahwa semuanya normal-normal saja. Problema dasarnya tidak diapa-apakan.
SPIEGEL: Dan apakah itu?
Abdel-Samad: Mempertanyakan Al Quran itu sendiri. Walaupun saat ini perdebatan telah dimulai, perdebatan itu tidak pernah mencapai suatu kesimpulan. Para reformis dan kaum konservatif sama-sama terobsesi oleh kitab suci itu. Kadang-kadang saya bertanya kepada diri saya sendiri siapa yang butuh Al Quran dewasa ini. Mungkinkah kepercayaan kami ini mempunyai cacat sejak lahir? Benarkah agama itu mencapai keberhasilan terlalu cepat, dan karenanya kewajiban pemerintah dan militer menjadi tercampur-aduk dengan agama? Bagaimana Islam dapat mencapai puncaknya di Abad Pertengahan, dan mengapa semuanya menjadi kacau setelah itu?
SPIEGEL: Apakah makna Al Quran bagi anda?
Abdel-Samad: Saya masih sering membacanya. Itu adalah pendidikan saya, masa kecil saya.
SPIEGEL: Ceritakan tentang Mesir, tanah kelahiran anda.
Abdel-Samad: Saya dilahirkan di desa kecil di tepi Sungai Nil, anak ketiga dari lima bersaudara. Ayah saya adalah imam dan penjaga tertinggi iman Islam di sana, dan beliau dengan niat memberikan kepada saya nama yang spesial suci: “Hamba Allah yang Berterimakasih.” Di bawah bimbingan beliau, saya dalam waktu singkat hafal Al Quran di luar kepala. Masa itu adalah masa yang terlindungi, namun saya sering melihat ayah memukul ibu saya, ibu berlutut di depan ayah tanpa mengeluh.
SPIEGEL: Mengapa dia melakukan hal itu?
Abdel-Samad: Karena beliau terpaksa melarikan diri dari kejaran tentara Israel ketika beliau menjadi serdadu dalam Perang Enam Hari, dan beliau tidak pernah bisa mengatasi pengalaman buruk itu. Karena pada umumnya para lelaki di desa itu memukuli isterinya. Karena agama tidak tegas melarang hal itu. Itu adalah seperti apa yang umum terjadi di sana.
SPIEGEL: Anda mengalami pelecehan ketika anda masih anak-anak.
Abdel-Samad: Saya perkirakan saya berumur empat tahun waktu itu. Dilumpuhkan oleh ketakutan, saya menghapal Al Quran selama berjam-jam pada malam hari. Saya dilecehkan lagi pada usia 11 tahun, kali ini oleh sekelompok laki-laki muda. Sesuai dengan tradisi kami, tidak terpikirkan untuk menceritakannya kepada ayah saya atau kepada siapapun.
SPIEGEL: Anda mengganggap Islam bertanggung-jawab sebagian atas kejahatan itu?
Abdel-Samad: Ya, sebagaimana hal itu dialami sekarang. Seksualitas yang ditekan, tinggal berdesak-desakan di ruangan yang sempit dalam masyarakat yang tertutup dan diperbudak oleh yang berkuasa menjadi faktor penyebab.
SPIEGEL: Itu adalah phenomena yang sama untuk mana institusi Katholik juga dikenal.
Abdel-Samad: Mungkin. Ayah saya, bagaimanapun juga, menginginkan agar saya menjadi sarjana Islam. Tetapi saya telah memutuskan untuk belajar Bahasa Inggris dan Prancis, dan selama berhari-hari saya bersiap diri, dengan kenekatan, untuk berkonfrontasi. Beliau menerima keinginan saya, tetapi terlihat oleh saya bahwa beliau dipenuhi rasa putus asa. Di universitas di Kairo, saya main mata secara ideologis dengan kaum Marxis dan Ikhwanul Muslimin. Saya meneriakkan slogan-slogan anti-Semitis pada demonstrasi-demonstrasi. Karena semua orang pada waktu itu melakukan hal yang sama.
SPIEGEL: Apa yang membuat anda sampai pindah ke Jerman?
Abdel-Samad: Saya ingin membebaskan diri dari segala kekangan. Saya bekerja sebagai pemandu wisata untuk beberapa waktu, pada masa itu saya berjumpa dengan seorang perempuan Jerman yang mengundang saya untuk pergi ke Jerman. Tetapi saya sama sekali belum bisa mengatasi ketakutan saya dan ketidakpastian tujuan. Ketika saya berdiri di hadapan seorang petugas di bandara di Frankfurt pada tahun 1995, saya membayangkan dia ragu-ragu sejenak sebelum menyetempel paspor saya. Saya pikir matanya berbicara kepada saya: Ini dia, satu lagi pembisik unta yang ingin memanfaatkan kemakmuran kami.
SPIEGEL: Apakah anda cepat berintegrasi ke dalam masyarakat Jerman?
Abdel-Samad: Sama sekali tidak. Jerman tampak asing bagi saya, seperti mesin yang rumit tanpa buku manual untuk mengoperasikannya. Saya akhirnya menikah dengan teman perempuan saya itu, seorang pemberontak, guru aliran kiri yang 18 tahun lebih tua dari saya. Tapi itu bukan karena cinta. Dia melakukannya karena alasan perpajakan dan saya untuk paspor Jerman.
SPIEGEL: Jadi itu merupakan suatu kesepakatan yang saling menguntungkan.
Abdel-Samad: Pada dasarnya begitulah adanya, kecuali bahwa saya tidak siap menghadapi kebebasan cara Barat. Itu menjadi kutukan bagi saya pada awalnya, dan membuat saya menjadi agresif. Saya mulai belajar ilmu politik di Augsburg. Di mana-mana ada godaan: gadis-gadis muda di serikat mahasiswa dan bir di bar-bar. Saya merasa bersalah bilamana saya terlalu menikmati ‘buah-buahan’ Barat, yang dilarang oleh iman saya. Saya merasa terhina dan tercerabut akar saya. Untuk masa yang singkat, saya ikut suatu kelompok mahasiswa Islamis, mencoba melarikan diri dari kesepian saya dalam kehangatan pertemanan. Ada orang-orang yang jatuh ke dalam cengkeraman teroris secara begitu. Saya tidak. Namun saya mengalami halusinasi dan keringat dingin, dan saya merasakan ketakutan akan kematian.
SPIEGEL: Apakah anda mencari pertolongan profesional?
Abdel-Samad: Ya, saya masuk sendiri ke klinik psikiatri. Saya sudah di ambang bunuh diri. Mereka memindahkan saya ke kamar isolasi dan merawat saya untuk kelainan kepribadian yang sudah di ambang batas. Benar-benar seperti neraka, dan neraka itu juga ada di dalam diri saya sendiri. Saya melakukan segalanya untuk meyakinkan para perawat bahwa saya bisa mengatasi jika berada di luar lagi. Para dokter mempercayai saya. Setelah saya diperbolehkan keluar, saya mengusahakan pelarian saya berikutnya, kali ini ke Jepang, di sana saya belajar Bahasa Jepang, dan berkenalan dengan spiritualitas Asia Timur. Saya bertemu dengan kekasih hidupku di Kyoto, seorang perempuan yang setengah Denmark dan setengah Jepang – perempuan yang menjadi isteriku sekarang.
SPIEGEL: Mungkinkah bahwa anda memberikan peran yang terlalu besar bagi agama dalam hidup anda, sehingga anda mengharapkan terlalu banyak darinya?
Abdel-Samad: Itu terserah kepada orang lain untuk menilainya. Saya telah mendekati Islam secara rasional dan membaca Kant dan Spinoza. Saya telah mempelajari Pencerahan. Dan saya telah mempelajari Reformasi, yang telah gagal muncul di dalam Islam hingga hari ini.
SPIEGEL: Anda mengritik Islam sebagai suatu kelompok yang lekas merasa tersinggung dan bahkan menikmatinya. Anda telah menuduh kaum kiri liberal Eropa mengejar suatu “kebijakan untuk menyenangkan” terhadap Islam. Mengapa anda sebagai seorang akademisi, kadang-kadang menikmati menjadi provokator dalam cara yang sama dengan Sarrazin? Apakah itu suatu ciri khas dari para murtadin untuk tidak memaafkan?
Abdel-Samad: Anda harus menyatakan opini anda secara jelas jika anda ingin didengar. Ada banyak sekali para apologet untuk Islam.
SPIEGEL: Akan tetapi kecenderungannya di Jerman sini kelihatannya menuju ke arah yang berbeda. Kaum yang menyuarakan berbahayanya Islam mendominasi opini publik. Kaum Muslim diejek di Internet sebagai “pengentot kambing” dan “pelacur bercadar,” sedangkan agamanya diolok-olok sebagai ”biadab.”
Abdel-Samad: Hal itu sangat tidak layak dikatakan dan sangat hina sehingga saya bahkan tidak ingin memberikan kehormatan kepada mereka dengan mengomentarinya.
SPIEGEL: Tetapi penghujatan-Islam telah menjadi hal yang secara sosial dapat diterima di antara banyak kaum intelektual Jerman. Apakah anda merasa nyaman berada di antara kaum pengidap Islamophobia?
Abdel-Samad: Saya tidak suka ungkapan itu. Seseorang yang mengidap phobia adalah seorang yang menghadapi khayalan-khayalan. Tetapi bahaya-bahaya yang dihadapkan oleh kaum Islamis itu nyata, dan ketidakmauan dari banyak kaum Muslim untuk berintegrasi di Jerman adalah suatu masalah yang serius. Bukan masalah saya kalau ada pengritik lain yang melebih-lebihkan dan retorika mereka menjadi kelewat batas. Saya hanya bisa berbicara untuk diri saya sendiri.
SPIEGEL: Sejarawan terhormat, Wolfgang Benz, yang pernah menjabat sebagai direktur dari Pusat Riset Antisemitisme di Universitas Teknik di Berlin selama bertahun-tahun, sekarang ini menarik garis paralel antara para agitator anti-Semitis dengan para kritikus Islam yang ekstrim. Menurut Benz, mereka menggunakan metoda yang sama untuk mengembangkan stereotip dari musuhnya, misalnya dengan menggunakan gambaran yang sengaja didistorsikan dan kehisterisan umum. Apakah ada kebenaran dari apa yang dikatakannya?
Abdel-Samad: Anda bisa membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Saya tidak melihat adanya suatu hubungan apapun.
SPIEGEL: Anda sedang dalam proses untuk menjadi tokoh Muslim teladan bagi para politikus konservatif di Jerman.
Abdel-Samad: Apa yang membuat anda mengatakan hal itu?
SPIEGEL: Menteri dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere, seorang anggota dari partai CDU yang konservatif telah menunjuk anda untuk menghadiri Konferensi Islam Jerman.
Abdel-Samad: Hanya itu saja? Ya, saya telah menghadiri tiga kali pertemuan sejauh ini, dan saya pikir itu adalah suatu panel yang menarik, suatu panel di mana Muslim dari berbagai corak berinteraksi dan berdebat secara madani. Hal itu merupakan suatu nilai tambah untuk Jerman.
SPIEGEL: Anda menuduh sesama kawan Muslim anda masih terus menerus mencari kambing hitam.
Abdel-Samad: Ya, ketimbang mencari kekurangan di dalam dirinya sendiri. Mungkin proses yang saya alami adalah proses yang dibutuhkan oleh Islam secara keseluruhan, yaitu setiap orang mawas diri secara kritis dan berhenti menyalahkan orang lain terus menerus untuk penderitaannya sendiri dan merasa menjadi korban. Mereka juga perlu membebaskan diri dari berbagai kekangan. Kepahitan dan menuding orang lain hanya akan menuju pada kekerasan, dan kita semua telah cukup banyak mengalaminya di dunia ini.
SPIEGEL: Tuan Abdel-Samad, terima kasih untuk wawancara ini.
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari Bahasa Jerman oleh Christopher Sultan. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tibandenker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar